• Jl. Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
  • (0251) 8313083; WA: 085282566991
  • [email protected]
Logo Logo
  • Beranda
  • Profil
    • Overview
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Tugas & Fungsi
    • Pimpinan
    • Satuan Kerja
    • Sumber Daya Manusia
    • Logo Agrostandar
  • Informasi Publik
    • Portal PPID
    • Standar Layanan
      • Maklumat Layanan
      • Waktu dan Biaya Layanan
    • Prosedur Pelayanan
      • Prosedur Permohonan
      • Prosedur Pengajuan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa
    • Regulasi
    • Agenda Kegiatan
    • Informasi Berkala
      • LHKPN
      • LHKASN
      • Rencana Strategis
      • DIPA
      • RKAKL/ POK
      • Laporan Kinerja
      • Capaian Kinerja
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Realisasi Anggaran
      • Laporan Tahunan
      • Daftar Aset/BMN
    • Informasi Serta Merta
    • Informasi Setiap Saat
      • Daftar Informasi Publik
      • Standar Operasional Prosedur
      • Daftar Informasi Dikecualikan
      • Kerjasama
  • Publikasi
    • Buku
    • Pedum/ Juknis
    • Infografis
  • Reformasi Birokrasi
    • Manajemen Perubahan
    • Deregulasi Kebijakan
    • Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
    • Penataan dan Penguatan Organisasi
    • Penataan Tata Laksana
    • Penataan Sistem Manajemen SDM
    • Penguatan Akuntabilitas
    • Penguatan Pengawasan
  • Kontak

Berita BRMP Perkebunan

Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan

Thumb
5 dilihat       20 Mei 2025

Tepung Lokal dan Ketahanan Pangan: Menakar Ulang Dominasi Impor

Repost - money.kompas.com

Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan

INDONESIA, yang dikenal sebagai negeri agraris berlimpah sumber daya alam, terutama dalam bentuk bahan pangan lokal seperti sagu dan singkong. Namun ironisnya, sekitar 99 persen kebutuhan tepung terigu nasional masih bergantung pada impor gandum, terutama dari Australia, Kanada, dan Ukraina. 

Volumenya lebih dari 11,7 juta ton pada 2024, dengan nilai impor 3,5 miliar dollar AS atau setara Rp 58 triliun (BPS, 2024). Ketergantungan ini tidak hanya menciptakan kerentanan terhadap fluktuasi harga global dan gangguan rantai pasok, tetapi juga mengabaikan potensi kekayaan lokal yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Di sisi lain, potensi lahan sagu terbesar di dunia, dengan total sekitar 5,5 juta hektar dari 6,5 juta hektar lahan sagu global dan luas lahan singkong 600.000 hektar belum diberdayakan optimal untuk memenuhi kebutuhan industri pangan dalam negeri. Sagu dan tapioka sebenarnya memiliki banyak keunggulan.

Sagu mengandung sekitar 83 gram karbohidrat per 100 gram bahan dan dikenal rendah indeks glikemiknya, sehingga cocok untuk diet sehat dan penderita diabetes. Sementara itu, tapioka dari singkong juga kaya akan energi, bebas gluten, dan bisa digunakan sebagai bahan dasar berbagai produk makanan olahan seperti mie, roti, dan kudapan modern.

Keunggulan lain adalah efisiensi lingkungan, di mana sagu tumbuh di lahan marginal dan rawa tanpa banyak input kimia, serta memiliki jejak karbon rendah. Singkong pun dikenal sebagai tanaman yang tahan kering dan bisa ditanam hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan pengembangan teknologi pengolahan dan dukungan kebijakan, kedua komoditas ini berpeluang besar menjadi substitusi strategis bagi tepung terigu. Mendorong diversifikasi tepung berbasis lokal bukan sekadar solusi teknis, tetapi juga langkah strategis memperkuat kedaulatan pangan nasional.

Pemerintah telah menginisiasi program diversifikasi pangan melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Namun implementasinya masih lemah di tingkat industri dan konsumen. Dukungan terhadap riset, insentif bagi UMKM, dan edukasi konsumen menjadi kunci untuk mendorong adopsi tepung lokal dalam skala luas.

Dengan meningkatnya kesadaran akan pangan sehat dan tren keberlanjutan global, inilah momentum tepat bagi Indonesia untuk beralih dari ketergantungan pada impor gandum menuju pemanfaatan penuh potensi sagu dan singkong, dan bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai identitas pangan nasional.

Profil Gizi dan Potensi Agribisnis 

Dari sisi gizi, perbandingan tiga jenis tepung ini menunjukkan karakter berbeda. Tepung terigu, terutama dari gandum utuh, unggul dalam hal kandungan protein (~13 g per 100 g) dan serat (~10,7 g), namun memiliki indeks glikemik (IG) tinggi yang kurang ideal bagi penderita diabetes atau mereka yang menjaga pola makan.

Sebaliknya, sagu dan tapioka memang rendah protein dan serat, namun punya karakter bebas gluten dan sangat tinggi karbohidrat, masing-masing sekitar 83 g (sagu) dan 88 g (tapioka) per 100 gram. Menariknya, sagu mencatat IG sangat rendah (~28), menjadikannya pilihan ideal untuk diet rendah gula.

Tapioka di sisi lain memiliki IG sangat tinggi (~85), kurang cocok untuk penderita diabetes, meski teksturnya sangat disukai industri pangan. Secara agribisnis, sagu menawarkan keunggulan strategis. Baru sekitar 4 persen potensi pangan sagu Indonesia yang termanfaatkan.

Sentra-sentra sagu seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi menyimpan potensi ekonomi luar biasa, apalagi pemerintah mulai mendorong hilirisasi dan modernisasi industri sagu. Tapioka tak kalah menjanjikan. Ubi kayu ditanam di hampir semua provinsi, dengan produksi mencapai lebih dari 16 juta ton.

Indonesia menjadi produsen ubi kayu terbesar keempat di dunia. Sebaliknya, gandum nyaris tak bisa dibudidayakan di iklim tropis. Setiap tahunnya Indonesia mengimpor lebih dari 9 juta ton gandum untuk memenuhi permintaan pasar, menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia. 

Jejak Karbon dan Keberlanjutan 

Dari sudut pandang keberlanjutan lingkungan, sagu menonjol sebagai sumber pangan yang ramah lingkungan. Proses produksi tepung sagu menghasilkan emisi gas rumah kaca yang relatif rendah, sekitar 38 kg CO2 per ton, dibandingkan dengan tepung terigu yang mencapai 350–620 kg CO2 per ton, dan tapioka sekitar 296 kg CO2 per ton.

Selain itu, tanaman sagu memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida sebesar 240 ton CO2 per hektar per tahun, menjadikannya sebagai penyerap karbon yang efektif. 

Keunggulan ini diperkuat fakta bahwa sagu tumbuh alami di lahan marginal seperti rawa dan gambut tanpa memerlukan pupuk kimia, sehingga tidak menyebabkan deforestasi atau kerusakan tanah. Dari segi keberagaman produk pangan, sagu memiliki potensi yang luas.

Meskipun tepung terigu unggul karena kandungan gluten yang memudahkan pengolahan menjadi roti, mie, dan kue, serta tapioka yang umum digunakan sebagai bahan pengental dalam berbagai hidangan, sagu mulai dilirik sebagai bahan alternatif.

Produk berbasis sagu seperti mi sagu, kerupuk, kue, bahkan roti bebas gluten mulai dikembangkan di berbagai daerah. Industri mi sagu dan biskuit sagu kini tumbuh dengan promosi sebagai pangan sehat dan ramah lingkungan, menawarkan alternatif bagi konsumen yang mencari produk bebas gluten dan berkelanjutan. Pengembangan sagu sebagai sumber pangan lokal yang berkelanjutan memerlukan dukungan dari berbagai pihak.

Pemerintah dapat memainkan peran penting melalui kebijakan yang mendukung budidaya sagu, investasi dalam infrastruktur pengolahan, dan promosi produk sagu kepada masyarakat luas.

Masa Depan Pangan Indonesia

Sayangnya, permintaan terhadap sagu masih terbatas dan terkonsentrasi di wilayah Indonesia Timur. Sebaliknya, dominasi terigu begitu masif, menguasai pasar bakery, mie instan, dan makanan olahan.  Namun, dominasi ini tidak berarti tidak tergantikan.

Pemerintah telah memulai langkah-langkah substitusi impor melalui pengembangan food estate berbasis singkong dan sagu, serta insentif bagi industri yang menggunakan bahan lokal. Melihat semua faktor ini, baik nilai gizi, potensi agribisnis, dampak lingkungan, serta daya guna industri, maka tepung sagu muncul sebagai kandidat kuat untuk menjadi alternatif utama pengganti terigu.

Tapioka menjadi pelengkap penting, terutama bagi kebutuhan industri makanan dan bahan pengganti gluten. Terigu, meskipun saat ini masih mendominasi, tak bisa terus bergantung pada impor. Maka, pilihan kita ke depan harus lebih strategis.

Investasi dalam pengolahan sagu dan tapioka, riset varietas unggul, insentif untuk industri makanan berbasis lokal, serta kampanye perubahan pola konsumsi masyarakat akan menjadi kunci. Jika dikelola serius, sagu dan tapioka tidak hanya mampu mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga membuka lapangan kerja, menyerap hasil pertanian lokal, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Sudah saatnya sagu dan tapioka tidak lagi dipandang sebagai "tepung alternatif", tetapi sebagai tulang punggung baru dalam sistem pangan Indonesia yang berdaulat, sehat, dan berkelanjutan.

Prev Next

- PSI Perkebunan


Pencarian

Berita Terbaru

  • Thumb
    Selamat Hari Kebangkitan Nasional ke-117!
    20 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Merayakan kebangkitan nasional pertanian Indonesia
    20 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Potensi Kerja Sama Indonesia Jepang di Bidang Pertanian
    19 Mei 2025 - By PSI Perkebunan
  • Thumb
    Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
    18 Mei 2025 - By PSI Perkebunan

tags

BRMP Perkebunan Sagu

Kontak

(0251) 8313083; WA: 085282566991
(0251) 8336194
[email protected]

Jl. Tentara Pelajar No. 1
Bogor 16111 - Jawa Barat
Indonesia
16111

website: https://perkebunan.bsip.pertanian.go.id/

© 2025 - 2025 Pusat Perakitan dan Modernisasi Perkebunan. All Right Reserved